Saturday, May 19, 2012

Bandung Lautan Api 2012

Longweekend bulan Maret kemaren saya dan beberapa teman dari komunitas Couchsurfing Bandung berpartisipasi dalam kegiatan dalam rangka memperingati peristiwa Bandung Lautan Api. Dari kegiatan ini saya jadi tahu bahwa peristiwa itu terjadi pada 24 Maret 1946.

Jadi, dalam kegiatan itu semua peserta yang dibagi dalam grup yang terdiri dari 10 orang harus melakukan napak tilas dengan berjalan kaki ke tempat-tempat yang berhubungan dengan peristiwa tersebut. Tempat-tempat tersebut di tandai dengan semacam tugu kecil berbentuk limas segitiga yang disebut dengan istilah stilasi. Sisi pertama ada tanda bahwa bangunan itu adalah stilasi, sisi kedua ada peta lokasi kesepuluh stilasi, dan yang ketiga sponsor utama pembangunan stilasi pada zaman dulu, yaitu American Express.

Ada 10 stilasi, dan kami berjalan dari stilasi 10 di Tegalega sampai stilasi 1 di Dago. Sayangnya baru stilasi 10 saja yang diperbaiki oleh pemerintah Kota Bandung, sedangkan stilasi yang lain kondisinya sangat memprihatinkan dan banyak bagian yang hilang, serta masyarakat sekitar tampaknya tidak menyadari bahwa ada bangunan bersejarah di dekat mereka.

Buat saya yang bukan orang Bandung, ini adalah salah satu cara mempelajari sejarah secara tidak langsung. Sebelum berangkat ke stilasi pertama kita dikasih clue dalam 10 amplop tertutup yang harus kita tandai sesuai dengan nomor urutan stilasi. Nanti amplop-amplop itu di serahkan kepada petugas yang ada di tiap-tiap stilasi yang juga dijadikan check point. Kalau bukan berpatisipasi dalam kegiatan ini, rasa-rasanya entah kapan saya mau berjalan kaki dari Lapangan Tegalega sampai Monumen, lalu malamnya jalan kaki lagi ke Punclut buat berkemah.

Besok paginya kita, setelah sarapan, kita jalan kaki lagi sambil mungutin Raja Rama V (Raja Chulalonkorn) dan Raja Rama VII (Pradjathipok Pharaminthara) sampah ke Babakan Siliwangi melewati Curug Dago, sekalian penutupan acara dan pengumuman pemenang. Di Curug dago ada sebuah bangunan kecil seperti saung yang konon katanya peninggalan Raja Rama V (Raja Chulalonkorn) dan Raja Rama VII (Pradjathipok Pharaminthara) dari Thailand. Waktu itu tidak bisa ke sana karena jalan menuju ke tempat itu tidak ada, kalau pun mau mencoba sangat berbahaya.


Stilasi 10, di Tegalega

Stilasi 9 ada di depang gang kecil yang ada di sebelah kampus Universitas Pasundan. Tidak sempat diphoto karena tidak seperti yang lain, stilasi ini ada atas tembok.

Stilasi 8, di halaman sebuah SD
Bandingkan dengan sponsor yang sekarang, di mana mereka menempelkan lempengannya (lihat stilasi 1).

Stilasi 7, di sampingan lapangan voli sebuah komplek perumahan

Stilasi 6, di Jl. Dewi Sartika

Stilasi ini persis di trotoar di depan toko pakaian, dan di hari-hari biasa, oleh si penjual minuman dijadikan tempat menaruh barang dagangannya. 

Stilasi 5, di dalam sebuah Gang di Jl. Dewi Sartika

Stilasi 4, di dalam pagar sebuah show room motor yang ada di jalan di belakang McD King Shopping Center

Stilasi 3, di Jl. Asia Afrika, di halaman sebuah gedung di depan Masjid Raya Alun-Alun, Bandung

Stilasi 2, di Jl. Braga

Stilasi 1, di Jl. Ir. H. Djuanda, Dago, di taman trotoar depan Bank BTPN
Di setiap stilasi, ada panitia yang merupakan tempat kita menyerahkan amplop, lalu kita diberi stiker dan akan dicatat jam berapa kita tiba di sana dan berangkat dari sana. Selain itu, mereka juga ditemani oleh dua atau tiga orang veteran. Mereka kita salami dan ada beberapa yang bercerita tentang pengalamannya selama masa perang. Terharu sekaligus bangga.

Monday, April 2, 2012

Minggu Pagi di Bandung


Kalau kamu sedang di Bandung, dan itu hari minggu, cobalah untuk bangun pagi. Bukan untuk lari pagi dan menghirup udara segarnya, tapi untuk SHOPPING. Ya, shopping. Belanja ke pasar yang hanya ada di hari minggu.

Letaknya di sepanjang areal Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat di Jl. Dipati Ukur sampai areal trotoar sekitar Gedung Sate di Jl. Diponegoro. Mau cari apa saja, dari furnitur sampai peniti, semua ada. Tempat yang tepat bagi anak kost untuk belanja keperluan kamar. Dari harga yang bisa ditawar sampai harga mati yang tidak bisa digoyang-goyang, juga ada di sini.

Tidak hanya barang, makanan pasti juga ada di sini, dan kalau beruntung, bisa bertemu artis karena bagian tengah Lapangan Gasibu biasanya sering digunakan sebagai areal untuk event-event tertentu, seperti promo produk yang sering kita lihat iklannya di TV atau event yang diadakan EO lokal.



Sunday, March 4, 2012

Fully Saturday

Sabtu 3 Maret 2012

Diawali bangun pagi dan langsung berangkat ke Sabuga untuk berenang bersama beberapa teman. Karena pagi itu bagi saya terasa lebih dingin dari minggu sebelumnya, maka kami tidak terlalu lama di sana. Setelah makan di dekat pintu masuk kami berjalan pulang ke arah Jl. Siliwangi. Di tengah jalan kami berpisah karena saya berdua seorang teman, dan dua orang teman lainnya berbeda arah tempat tinggal. 

Ketika sedang bejalan menuju tempat angkot, tanpa sengaja saya berdua teman menemukan tempat yang sepertinya asyik untuk dijadikan objek (latar belakang) foto. Tidak tahu namanya apa, tapi saya sempat membaca kata Babakan Siliwangi di sana.

Selesai dari sini dan pulang ke kosatan masing-masing, berjanji ikut teman saya ini yang akan pergi ke Musium Geologi di Jl. Diponegoro dengan seorang teman sekelas kami.

Jam 10 lewat kami janjian ketemu di dekat jalan layang pasopati dan naik angkot Cicaheum - Ledeng menuju musium. Wow... banyak bus berjejer di depan musium yang ternayta membawa rombongan anak sekolah yang bahkan ada yang berasal dari luar kota. Mereka sepertinya ditugasi untuk mencatat hal-hal yang bekenaan dengan fosil dan batu.

Puas di sana, saya mengajak teman-teman saya yang belum mengenal Bandung ini, makan dan minum di Yoghurt Cisangkuy yang ada di Jl. Cisangkuy, tinggal menyeberang dari Musium Gelogi. Cukup, siang itu saya sangat kekenyangan.

Dari sana kami perpisah, mereka nonton ke BIP dan saya menghadiri (untuk pertama kalinya) Couchsurfing Gathering yang diadakan oleh CS Bandung. Tempatnya di Reading Lights, Jl. Siliwangi No. 16, dekat simpang Gandok. Tadinya saya pikir tempat ini seperti perpustakaan yang bisa meminjam atau membeli buku, ternyata mereka hanya menjual buku-buku ber-Bahasa Inggris dengan konsep toko dan cafe. So, tidak heran ada beberapa orang yang selain membaca juga sedang ngobrol sambil makan dan ber-Wi-fi.

CS Gathering-nya tidak terlalu berkesan buat saya. Hanya kenalan dan beberapa yang bercerita tentang pengalamannya. Ririe, sebagai host dan ambasador, cukup baik buat saya. Di luar itu ada beberapa orang yang tampaknya sudak kenal, mereka berkelompok dan ngobrol masing-masing.

Sekitar jam 3.15 saya pamit pulang duluan karena masih ada janji sama teman-teman lagi untuk menemani saya melihat-lihat laptop di BEC. Banyak pilihan yang membuat saya bingung memilih.

Di sana kami sampai magrib. Setelah dinner dengan nasi goreng yang ada di pinggir Jl. Purnawarman, kami berpisah ke kostan masing-masing.

 

Bakso dan Risoles

Jumat tanggal 2 Maret 2012 kemaren, saya penasaran mencoba bakso Panghegar yang ada di persimpangan Jl. Pager Gunung dan Jl. Hasanudin, Bandung. Tempatnya seperti wareng makan biasa, ada gerobaknya, tapi tiap lewat kok ramai terus. Saya suka curiga sama tempat-tempat makan yang biasa saja tapi ramai, curiga enak, maksudnya.

Bermodalkan rasa ingin makan bakso sebagai santapan makan siang, maka mampirlah saya dan pesan bihun bakso, tanpa pecin, dan pakai ceker. Setelah menunggu sebentar, maka datanglah pesannya saya... shruuuuppp... emang highly recommended!!! Di mejanya, selain sambal, kecap dan teman-temannya, ada mangkuk plastik sebagai tempat tulang cekernya.


Sorenya, pulang kuliah, saya kembali memenuhi rasa penasaran saya terhadap makanan, dan kali ini yang dijual adalah risoles dan gehu. Pasti biasa, dong ya, sama makanan itu, selain banyak yang jual, bentuknya juga pasti sudah ketahuan. Tapi... tidak tahu kenapa tukang risoles dan gehu yang ada di dekat kostan saya ini selalu ramai. Pembeli pada sabar menunggu tukangnya menggoreng.

Beberapa hari sebelumnya saya pernah mendekat karena ingin tahu apa yang dijual. Dan sekarang merasa harus beli karena pembeli yang menunggu lumayan sepi, jadi tidak akan terlalu lama mengantri.

Saya sengaja membeli masing-masing satu untuk setiap variant yang ditawarkan: risoles original, keju, dan pedas yang masing Rp2000, serta gehu pedas Rp3000. Harganya memang sebanding dengan ukurannya.
Saya sedikit kecewa ketika tahu makanan itu tidak dilengkapi cabe rawit atau sambal cocol, dan ketika saya tanya, mamangnya hanya bilang bahwa gehu dan risoles yang pedas, rasanya sudah lumayan pedas. Let's prove it!!! 

Hasilnya: sama saja sama risoles yang biasa (menurut saya), wortel dan kentang sebagai isinya tidak banyak, hanya ada tanbahan potongan kecil telur rebus dan sepotong kecil (sekali) daging. Dan, rasa pedas hanya bisa saya rasakan di gehu.

Bagi yang mau mencoba, silahkan datang ke ke pertigaan Jl. Taman Sari dan Jl. Sulanjana, ada di tengah-tengah antara BLCI dan Indomaret.


Wednesday, February 29, 2012

Re-back

I am back! adalah kata yang langsung terlintas di kepala saya ketika saya mendapatkan sebuah telepon di pagi hari, yang mengabarkan bahwa saya harus "kembali' ke Bandung.

Sejujurnya saya memang mengharapkan telepon seperti pagi itu, tapi saya tidak pernah berharap ditelepon dari pihak yang menelepon saya itu. Alasannya karena saya ingin merasakan suasana kota lain sebagai tempat yang akan ditinggali dalam waktu lama. Cukup bagi saya tinggal di Bandung selama lebih dari 5 tahun sekitar 5 tahun lalu dan beberapa kali kunjungan singkat ke sana setelahnya atau nanti-nanti.

Saya memang punya keinginan, tapi yang lebih tahu tentang saya adalah DIA.
DIA tidak akan membuat ini terjadi kalau tidak ada sesuatu yang indah menanti saya di kota ini.

Walaupun tinggal selama sekitar 5 tahun lebih, saya ingat masih banyak tempat yang belum pernah saya kunjungi selama di Bandung dulu. Mungkin sekarang adalah kesempatan buat saya menebus semuanya. Selain itu, berada di sini sekarang membuat akses untuk pergi kemana pun saya mau sangatlah mudah. Itu, satu hal keindahan yang langsung saya syukuri dari ketetapan-Nya ini.

Monday, January 9, 2012

Accommodation in Bengkulu

These are some hotels in cities outside of Bengkulu City. You can open here to see hotels in Bengkulu City.


Curup, Rejang Lebong
  • Villa Hijau (Hotel n Restaurant)
           Jl. Raya Curup - Lubuk Linggau No. 99
           Ph. 0732 - 325333
           HP. 085284430333 - 081368012369 - 081367150533 - 081367187919
  • Villa Homestay Wisata 1
          Jl. Raya Curup - Lubuk Linggau Km. 16 No. 99 (next to Villa Hijau)
          Ph. 0732 - 7000489
          HP. 085758050090
  • Villa Homestay Wisata 2
          Jl. Raya Curup - Lubuk Linggau Km. 16
  • Hotel Bukit Kaba
          Jl. Sukowati
          Ph. 0732 - 21355
  • Hotel Wisata Baru
          Jl. MH. Thamrin
          Ph. 0732 - 24161
  • Hotel Aman Jaya
          Jl. AK. Gani No. 10


Kepahiang
  • Penginapan Mutiara
             Jl. Santoso
  • Guest House Graha Utama, Kabawetan
             Jl. Perkebunan Teh Kabawetan


Muara Amman, Lebong
  • Penginapan Sukma Jaya
             Jl. Pasa Muara Amman
  • Losmen Supoyono
             Jl. Pasar Muara Amman
  • Wisma Bunga Kibut
             Lebong Selatan
  • Hotel Samadiya
            Jl. Pasar Muara Amman


Arga Makmur, Bengkulu Utara
  • Pasir Putih Resort Kemumu
             Jl. Ahmad Yani No. 1
             Ph. 0737 - 521169
             HP. 081377520404
  • Mutiara
             Jl. Sutan Syarir
             Telp. 0737 - 521064
  • Wisma Melur
             Jl. Husni Thamrin
             Ph. 0737 - 521050
  • Kurnia
             Jl. Husni Thamrin No.11
             Ph. 0737 - 521169
  • Losmen Makmur
             Jl. Samsul Bahrun
             Ph. 0737 - 521403
  • Bundaran
             Jl. Sudirman (Bundaran)
  • Marwa
             Jl. Samsul Bahrun
  • Rafflesia
             Jl. Husni Thamrin
  • Pantai Indah
             Jl. Dusun Air Petai, Putri Hijau
  • Penginapan Alam
             Putri Hijau
  • Penginapan Prio
              Desa Kota Bani, Putri Hijau


Bintuhan, Kaur
  • Eka Nurza
            Jl. Bintuhan Kaur Selatan
  • Cantio
            Jl. Bintuhan Kaur Selatan

Tuesday, January 3, 2012

Lost in Curup

Sebenarnya sejak batita saya sudah bolak balik Curup, secara itu adalah kampung halaman papa saya. Ketika nenek saya masih ada kami sekeluarga besar sering ke sana, tetapi saya tidak pernah mengenal dekat kota ini. Tanggal 31 Desember 2011 saya berangkat ke sana. Sendirian. Tidak ada tujuan apa-apa, hanya ingin tahu saja. Dan niat itu semakin kencang setelah mengetahui bahwa minim sekali informasi tentang Kota Curup, ibukota Kabupaten Rejang Lebong, padahal banyak wisatawan yang datang ke Bengkulu ingin 'main' ke sana karena pesona daerah pegunungannya. Info tentang objek wisatanya mungkin banyak, tetapi 'how-to-reach-it' bisa dikatakan tidak ada.

Sabtu pagi saya berangkat ke Terminal Panorama, ke simpang Jalan Manggis tempat mobil L300 jurusan Kepahiang dan Curup mangkal. Ongkos ke Curup Rp20.000 dan yang ke Kepahiang ongkosnya Rp15.000. saya sengaja pergi pagi untuk antisipasi penginapan yang dikhawatirkan penuh. Nasib baik memperkenalkan saya kepada seorang mahasiswi yang juga akan ke Curup, dan ternyata rumah orang tuanya berada di daerah tujuan saya, di sebelah Villa Hijau, penginapan yang saya incar. Saya penasaran dengan penginapan ini karena banyak turis yang selalu menginap di sana setiap ke Curup. Saya jadi tahu bahwa daerah itu dikenal dengan sebutan Danau karena terdapat Danau Mas, objek wisata yang sangat terkenal.

Biasanya mobil akan berhenti di Pasar Atas. Ada baiknya sebelum naik ditanya dulu agar tidak kejadian seperti saya yang hari itu ternyata hanya sampai Simpang Lebong. Dari sana naik ojek lagi Rp3000 (tarif standar) ke Pasar Atas, lalu naik mikrolet biru tujuan Danau, ongkosnya Rp5000. Angkot ini hanya sampai depan danau, kalau mau terus ke Lubuk Linggau, dari Pasar Atas bisa langsung naik angkot kompong, angkot tipe lama, penumpang duduk berhadapan dan harus mengetuk kaca jika akan berhenti.

Sayang, Villa Hijau hari itu fully booked. Akhirnya saya menginap di Villa Homestay Wisata 2, setelah disarankan dari Villa Homestay Wisata 1 yang persis berada di samping VH. Tempatnya tidak jauh dari sana, jalan kaki kurang dari 5 menit ke bawah, sebelum VH. Harga kamar yang saya tempati Rp150.000, lebih mahal Rp20.000 dari kamar standar yang sama di VHW1, katanya sih ukuran kamar di sini lebih besar. Fasilitas hanya yang ada di kamar termasuk handuk dan sabun, tidak ada sarapan, air panas dan pasta gigi. Bagi yang membawa kendaraan bisa dititip di teras belakang. Yang mahal dari daerah ini adalah pemandangannya. Sejauh mata memandang, hanya ada warna hijau. Biasanya ada strawberry, tapi kemarin sepertinya lagi musim tanam kol dan daun bawang.

Bukit Kaba (depan) waktu sore
Kebun sayuran (belakang) waktu pagi
pintu masuk Danau Mas
Setelah beres-beres, siang itu saya bermaksud cari makan di daerah Danau Mas. Katanya sih lumayan dekat kalau jalan kaki, secara bisa kelihatan dari belakang penginapan, tetapi tidak mau mengambil resiko saya naik angkot kompong, ongkosnya Rp2000. Harus cukup sabar menunggu angkot di daerah sini, karena jarang dan terkadang tidak mau menaikan penumpang karena sudah penuh dengan barang.

Saya merasa pusing yang sepertinya karena angin yang bebas masuk dari jendela mobil ketika tadi berangkat, oleh sebab itu saya memilih makan soto ayam pakai lontong seharga Rp9000 yang persis berada di sebelah gerbang masuk Danau Mas. Lumayan untuk ganjal perut. 

Selesai makan saya berjalan ke Danau Mas dan harus membayar tiket masuk Rp2000. Sambil memperhatikan sekeliling saya terpaksa mengenakan sweater karena dingin sekali. Di sini, pertama kalinya saya mencoba flying fox dengan membayar Rp20.000. Awalnya saja degdegan seperti naik rollercoster, tapi hanya sekejap. Setelah itu saya mencoba perahu ketek mengelilingi danau. Seperti perahu di Marina River Singapura, tapi tanpa iringan musik lagu Rasa Sayang Sayange dan penjelasan tentang apa-apa yang diihat di sekeliling danau. Yang terdengar hanya suara mesin perahu. Ongkosnya Rp10.000/orang dan mesti menunggu banyak orang, kecuali dicarter Rp100.000 untuk 5 orang, dengan durasi sekitar 20 menit.

Kepala masih nyut-nyutan. Mau jalan-jalan ke pusat kota khawatir dengan waktu dan sarana transportasinya. Akhirnya sekitar jam 14.30 saya memutuskan kembali ke penginapan. Karena menunggu angkot lama sekali saya bermaksud jalan kaki saja. Di depan warung yang masih berada di dekat danau saya iseng bertanya kepada ibu pemiliknya berapa ongkos ojek kalau mau ke Bukit Kaba. Dia dan seorang pria yang mungkin suaminya itu tidak tahu. Tapi suaminya yang saat itu sedang mengeluarkan motor karena mau membeli air galonan menawarkan mengantar saya ke sana karena mungkin dikiranya saya mau tahun baruan di puncak bukit, tetapi saya tolak dan bilang mau kembali ke penginapan, dan untungnya dia tetap menawarkan mengantar karena dia juga pasti melewati penginapan saya.

jeruk nipis panas
Sengsara sekali saya sore itu. Cemilan yang saya beli rasanya tidak enak, bahkan popmi yang saya pikir akan memberikan kehangatan perut memaksa keluar lagi.

udang goreng tepung saos mentega dan ayam pindang
Malamnya saya memutuskan makan enak di VH. Entah di daerah kotanya, tapi suasana jalan di sini tetap sepi dan dingin. Malam tahun baru saya lewati hanya dengan tiduran sambil menonton film dan menikmati dentuman kembang api. Sayang saya gagal menginap di VH, tampaknya mereka punya acara sendiri karena saya bisa mendengar dan melihat kembang api mereka dari balkon kamar.

Simpang Bukit Kaba
Tanggal 1 Januari 2012 saya bangun kesiangan. Rencana lari pagi ke Danau Mas terpaksa batal. Demi efisiensi waktu dan penasaran, pagi itu saya memutuskan  check out dan mendaki Bukit Kaba. Saya yakin saya tidak akan benar-benar sendiri karena tempat itu bukan lagi monopoli para pendaki gunung atau pencinta alam seperti zaman SMA saya dulu. Dari penginapan saya naik angkot Rp2000 ke Simpang Bukit Kaba.

Posko
Sambil sarapan lontong telur, Rp5000, saya masih berusaha bertanya tentang tarif ojek ke kaki bukit yang oleh warga setempat disebut Camp. Herannya, jawabannya berbeda-beda dari kemarin. Obrolan pagi ini semakin menguatkan tekad saya karena ternyata banyak orang yang ke sana dari pagi tadi, justru malamnya sepi.

Camp
jalan masuk ke bukit
Benar saja, ramai sekali di Camp. Sesaat saya tampak bingung karena akan mendaki bersama siapa dan kemana arahnya. Mata saya menangkap 3 orang anak perempuan yang baru keluar dari tempat semacam posko, langsung saya sapa seorang dari mereka dan minta bergabung, mereka setuju. Maka dimulailah pendakian setelah saya mengisi buku tamu dan membayar Rp2000. Petugas disana juga berpesan untuk mencatat nomor handphone yang bisa dihubungi kalau terjadi apa-apa di atas (sayang, sudah terhapus tanpa sengaja).

Dari obrolan saya jadi tahu bahwa tadi mereka bayar ojek hanya Rp5000 sedangkan saya Rp10.000, tidak bayar apapun di posko dan salah seorang dari mereka baru dari Bukit Kaba seminggu yang lalu.

puncak bukit dan tangga ke kawah
Selama perjalanan sekitar 1,5-2 jam hingga ke puncak saya banyak banyak bertemu pengguna motor. Jalan setapak untuk mendaki sudah terbuat dari koral, hanya sebagian kecil saja jalan tanah yang harus diwaspadai. Tempat ini sudah menjadi tempat piknik, banyak keluarga yang datang dengan anak kecil dan membawa bekal. Walaupun mengganggu, tas yang biasa saya bawa ke kantor hari itu tidaklah begitu membuat saya 'salah kostum'.

Dari puncak bukit, saya melanjutkan perjalanan ke puncak kawah dengan mendaki puluhan anak tangga. Dari sini bisa melihat ke bawah, tempat sumber belerang. Bisa turun mendekat kalau mau, tapi saya tidak. Dejavu, teringat waktu pertama kali ke sini bersama teman-teman IPALA, ekskul pencinta alam SMA yang memperingati 17 Agustus. Sampai di atas saya dan teman-teman baru saya menikmati pemandangan sambil makan siang. Jangan ditanya capek dan puasnya begitu sampai di puncak.

kawah
Sekitar jam 12 kami memutuskan turun. Kalau saja lutut kanan saya tidak bermasalah, saya pasti bisa mengimbangi langkah mereka bertiga, untunglah mereka pengertian. Kesakitan saya membuat posko terasa jauh, dan setelah istirahat sebentar mereka mengajak saya berjalan kaki ke simpang karena tidak ada ojek dari Camp.

Awalnya saya mengajak mereka menunggu ojek yang mengantarkan penumpang, tapi mereka berkeras tidak ada ojek, membuat saya ingin meninggalkan mereka saja dengan nebeng motor yang lewat, sayangnya tidak ada. Saya selalu melihat ke belakang sementara mereka beberapa meter di depan saya. Lalu, dengan sedikit berharap saya melihat ke arah mobil yang mendekat, dan rupanya mobil itu berhenti. Saya berteriak memanggil mereka dan kami pun duduk di bak mobil. Benar-benar gempor kalau mesti jalan kaki ke simpang, dengan kendaraan saja sekitar 10 menitan. Pemilik mobil ternyata keluarga yang kami jumpai di tengah perjalanan turun dari bukit tadi.

Dari Simpang Bukit Kaba saya langsung naik angkot ke Pasar Atas. Dari angkot kelihatan kalau di Suban pasti ramai sekali karena jalan masuknya macet, beruntung tidak jadi ke sana. Sampai di pasar saya tidak melihat ada mobil L300 yang mangkal. Supir angkot asal saja menjawab sewaktu saya tanya, dan ketika bertanya kepada seorang penjual malah dia bilang di sana tidak ada mobil yang ke Bengkulu. Terdesak waktu, saya memutuskan naik ojek Rp3000, bilang ke Bundaran, tempat mobil L300 sering mangkal. Ini adalah daerah yang pasti dilewati kalau mau masuk atau keluar Curup menuju Kepahiang dan Bengkulu. Biasanya mobil tidak menunggu lama karena banyak penumpang di jalan. Kalau lapar, di sini juga banyak tempat makan.

what a perfect way to start up my year...:)

Suggestion Itinerary:
Bengkulu - Bukit Kaba/Danau Mas/Suban :
  Terminal Panorama - Curup (Pasar Atas)    :  Rp20.000
  Pasar Atas - Simpang Bukit Kaba               : Rp5000
  Simpang Bukit Kaba - Camp (ojek)            : Rp5000
                             
  Pasar Atas - Danau Mas                             : Rp5000

  Pasar Atas - Suban                                     : Rp2000

*if the driver stops at Simpang Lebong you can take ojek Rp3000 to Pasar Atas

Bengkulu - Curup (city) : Terminal Panorama - Curup                     :  Rp20.000
You can stop at Bundaran if you want to go to Jl. Sukowati or Jl. Basuki Rahmat (Dwi Tunggal) or you can stop at Simpang Lebong, in middle of main road, Jl. M.H Thamrin and Jl. Merdeka. The sign is traffic light.